Sejarah
Makassar
Seperti diketahui,
Sulawesi Selatan terdiri atas empat rumpun suku, yaitu : Makassar, Bugis,
Mandar, dan Toraja.
Kota Makassar pada masa
H.M.Dg.Patompo (1965-1978) menjabat Walikotamadya Makassar, yaitu tahun 1971
berubah namanya menjadi Kota Ujung Pandang setelah diadakan perluasan kota dari
21 km² menjadi 175,77 km². Namun kemudian, pada tanggal 13 Oktober 1999 berubah
kembali namanya menjadi Kota Makassar.
Kota Makassar biasa
juga disebut Kota Daeng atau Kota Anging Mamiri. Daeng adalah salah satu gelar
dalam strata atau tingkat masyarakat di Makassar atau di Sulawesi Selatan pada
umumnya, Daeng dapat pula diartikan “kakak”. Sedang Anging Mamiri artinya
“angin bertiup” adalah salah satu lagu asli daerah Makassar yang sangat populer
pada tahun 1960-an. Lagu ini sangat disukai oleh Presiden Republik Indonesia,
Ir.Soekarno ketika berkunjung ke Makassar pada tanggal 5 Januari 1962.
Di Pulau Barrang Lompo,
Makassar, terdapat nisan dari kuburan Islam yang menyerupai menhir (batu tegak
sebagai batu peringatan pemujaan arwah leluhur) setinggi 1,50 m yang merupakan
tradisi megalitik setelah tradisi bercocok-tanam.
Budaya
Adat
Di wilayah Sulawesi
Selatan suku bangsa Makasar menempati daerah Kabupaten Takalar, Jeneponto,
Bantaeng, Pangkajene, Maros, Gowa, dan Kepulauan selayar.
Dalam kebudayaan
Makasar, busana adat merupakan salah satu aspek yang cukup penting. Bukan saja
berfungsi sebagai penghias tubuh, tetapi juga sebagai kelengkapan suatu upacara
adat. Yang dimaksud dengan busana adat di sini adalah pakaian berikut aksesori
yang dikenakan dalam berbagai upacara adat seperti perkawinan, penjemputan
tamu, atau hari-hari besar adat lainnya. Pada dasarnya, keberadaan dan
pemakaian busana adat pada suatu upacara tertentu akan melambangkan keagungan
upacara itu sendiri.
Pada masa dulu, busana
adat orang Makasar dapat menunjukkan status perkawinan, bahkan juga status
sosial pemakainya di dalam masyarakat. Hal itu disebabkan masyarakat Makasar
terbagi atas tiga lapisan sosial. Ketiga strata sosial tersebut adalah ono
karaeng, yakni lapisan yang ditempati oleh kerabat raja dan bangsawan; tu
maradeka, yakni lapisan orang merdeka atau masyarakat kebanyakan; dan atu atau
golongan para budak, yakni lapisan orangorang yang kalah dalam peperangan,
tidak mampu membayar utang, dan yang melanggar adat. Namun dewasa ini, busana
yang dipakai tidak lagi melambangkan suatu kedudukan sosial seseorang,
melainkan lebih menunjukkan selera pemakainya.
Sementara itu,
berdasarkan jenis kelamin pemakainya, busana adat Makasar tentu saja dapat
dibedakan atas busana pria dan busana wanita. Masing-masing busana tersebut
memiliki karakteristik tersendiri, busana adat pria dengan baju bella dada dan
jas tutunya sedangkan busana adat wanita dengan baju bodo dan baju labbunya.
Busana adat pria
Makasar terdiri atas baju, celana atau paroci, kain sarung atau lipa garusuk,
dan tutup kepala atau passapu. Baju yang dikenakan pada tubuh bagian atas
berbentuk jas tutup atau jas tutu dan baju belah dada atau bella dada. Model
baju yang tampak adalah berlengan panjang, leher berkrah, saku di kanan dan
kiri baju, serta diberi kancing yang terbuat dari emas atau perak dan dipasang
pada leher baju. Gambaran model tersebut sama untuk kedua jenis baju pria, baik
untuk jas tutu maupun baju bella dada. Hanya dalam hal warna dan bahan yang
dipakai terdapat perbedaan di antara keduanya. Bahan untuk jas tutu biasanya
tebal dan berwarna biru atau coklat tua. Adapun bahan baju bella dada tampak
lebih tipis, yaitu berasal dari kain lipa sabbe atau lipa garusuk yang polos,
berwarna terang dan mencolok seperti merah, dan hijau.
Kelengkapan busana adat
pria Makasar yang tidak pernah lupa untuk dikenakan adalah perhiasan seperti
keris, gelang, selempang atau rante sembang, sapu tangan berhias atau passapu
ambara, dan hiasan pada penutup kepala atau sigarak. Keris yang senantiasa
digunakan adalah keris dengan kepala dan sarung yang terbuat dari emas, dikenal
dengan sebutan pasattimpo atau tatarapeng.
Sementara itu, busana
adat wanita Makasar terdiri atas baju dan sarung atau lipa. Ada dua jenis baju
yang biasa dikenakan oleh kaum wanita, yakni baju bodo dan baju labbu dengan
kekhasannya tersendiri. Baju bodo berbentuk segi empat, tidak berlengan, sisi
samping kain dijahit, dan pada bagian atas dilubangi untuk memasukkan kepala
yang sekaligus juga merupakan leher baju. Adapun baju labbu atau disebut juga
baju bodo panjang, biasanya berbentuk baju kurung berlengan panjang dan ketat
mulai dari siku sampai pergelangan tangan. Bahan dasar yang kerap digunakan
untuk membuat baju labbu seperti itu adalah kain sutera tipis, berwarna tua
dengan corak bunga-bunga. Kaum wanita dari berbagai kalangan manapun bisa
mengenakan baju labbu.
Pasangan baju bodo dan
baju labbu adalah kain sarung atau lipa, yang terbuat dari benang biasa atau
lipa garusuk maupun kain sarung sutera atau lipa sabbe dengan warna dan corak
yang beragam. Namun pada umumnya, warna dasar sarung Makasar adalah hitam,
coklat tua, atau biru tua, dengan hiasan motif kecilkecil yang disebut corak
cadii.
Sama halnya dengan
pria, wanita makasar pun memakai berbagai perhiasan untuk melengkapi tampilan
busana yang dikenakannya Unsur perhiasan yang terdapat di kepala adalah mahkota
(saloko), sanggul berhiaskan bunga dengan tangkainya (pinang goyang), dan
anting panjang (bangkarak). Perhiasan di leher antara lain kalung berantai
(geno ma`bule), kalung panjang (rantekote), dan kalung besar (geno sibatu), dan
berbagai aksesori lainnya. Penggunaan busana adat wanita Makasar yang lengkap
dengan berbagai aksesorinya terlihat pada busana pengantin wanita. Begitu pula
halnya dengan para pengiring pengantin, hanya saja perhiasan yang dikenakannya
tidak selengkap itu.
Prosesi Pernikahan Adat
Makassar
Ada beberapa tahap yang
dilakukan dalam prosesi pernikahan menurut adat pernikahan Makassar dan setiap
tahap menggunakan ungkapan yang berbeda-beda. Pada dasarnya, prosesi pernikahan
terbagi atas 3 (tiga), yaitu: sebelum pernikahan, pernikahan sedang berlangsung
dan setelah pernikahan. Berikut ini saya akan mencoba memaparkan tahap-tahap
pernikahan beserta ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam bahasa Makassar dan
terjemahannya.
Acara
Sebelum Pernikahan
Ada beberapa tahapan
yang dilakukan sebelum upacara pernikahan adat Makassar, yaitu:
1. Accini' Rorong
(Penjajakan).
Pada tahap ini pihak
laki-laki melakukan penjajakan dengan penuh rahasia sehingga pihak perempuan
belum mengetahui maksud kedatangan tamunya. Salah satu cara untuk mengungkapkan
maksudnya ialah dengan menggunakan paruntu' kana atau peribahasa bisa juga
berarti ungkapan yang tersembunyi dalam kata.
2. Appabattu Kana
(Melamar).
Appabattu Kana
(melamar) merupakan lanjutan dari Accini Rorong (penjajakan). Appabattu Kana
ini tidak boleh dilakukan oleh orang tua calon pengantin pria melainkan
dilakukan keluarga atau kerabat dekat sang calon pengantin pria.
3. Appakkuling
(Mengulangi untuk mempertegas)
Appakkuling adalah
mempertegas kembali apa yang sudah dipertanyakan sebelumnya dengan maksud untuk
mengetahui apakah lamarannya diterima atau ditolak.
4.
Appakajarre'/Annyikko' (Mempererat/mengikat)
Appakajarre' yaitu
menyepakati atau menyatukan pendapat untuk melaksanakan pesta pernikahan. Pada
tahap ini sudah dibicarakan sunrang (mahar), doe' balanja (uang belanja) dan
perlengkapan lainnya atau erang-erang (barang antaran). Juga sering dibuktikan
dengan sebentuk cincin yang disebut dengan cincing passikko'. adapun ungkapan
yang dipakai adlah sebagai berikut.
5. Appanai'
Leko/angngerang-erang (Membawa barang antaran)
Pada jaman dahulu
appanai' leko' ada dua prosesi. ada istilah appanai' leko caddi dan adapula
appanai' leko' lompo. tetapi pada masa sekarang ini hanya satu prosesi saja yang
dilakukan merangkum kedua prosesi appanai' leko' caddi dan appanai' leko'
lompo. Dalam prosesi ini sekaligus dibawa uang untuk bahan belanja pihak
perempuan, mahar daun dan buah pinang serta embel-embel yang lain berupa :
umba-umba (makanan tradisional khas makassar berupa kue-kue kecil berbentuk
bulat dengan isi gula merah kemudian ditaburi parutan kelapa), buah-buahan,
pisang, tebu dan lain-lain. kesemuanya itu disimpan dalam satu wadah yang
bernama "Panca" (wadah dari anyaman batang bambu), kesemua barang
bawaan ini berupa panganan-panganan atau buah-buahan yang manis dengan maksud
agar pernikahan yang akan dilangsungkan akan berbuah manis pula dikemudian
hari.
Acara
Sedang Berlangsungnya Pernikahan
1. Simorong/Nai'mi
Kalenna (Pengantin pria diantar kerumah pengantin perempuan)
Apabila pengantin pria
beserta pengantarnya telah sampai kerumah pengantin wanita, maka pengantin pria
diambut dengan alunan "Gandrang" (Musik tradisional Makassar).
setelah itu sang pengantin dipanggil oleh anrong bunting atau orang yang
ditunjuk dengan melantunkan syair pakkio' bunting.
2. Appabattu Nikka
('Ijab Qabul)
Ijab Qabul ini
prosesnya sama saja dengan ijab qabul dalam prosesi pernikahan dalam agama
islam. Ijab qabul diucapkan oleh pengantin laki-laki dihadapan wali mempelai
wanita, saksi dan imam nikah
3. Nilekka' (Mengantar
pengantin wanita ke rumah pengantin pria)
Pada prosesi ini
pengantin perempuan diantar kerumah pengantin pria dengan membawa
"Pa'balasa" atau "pa'matoang" (barang antaran untuk
membalas barang antaran pihak pengantin laki-laki), biasanya pengantin wanita
dipanggil pula dengan syair pakkio' bunting lalu mereka diberikan sesuatu yang
berharga ("Pannimbarangngi"). Acara Sesudah Pernikahan Setelah acara
pernikahan masih adalagi prosesi yang disebut "Appa'bajikang" yang
berarti mendamaikan atau menyatukan tangan kedua mempelai dalam mengarungi hidup
baru.